Sudah dua puluh satu tahun yang lalu aku dilahirkan ke dunia ini. selama itu ngga pernah terlintas dalam pikiranku tentang "Si Jodoh", sampai suatu hari aku terdampar di salah satu kota di ujung pulau jawa yang sangat ramah akan sinar matahari dan tinggal satu atap bahkan satu kamar dengan salah satu kawanku yang bisa dibilang akhwat (well, akhwat memang adalah sebutan untuk perempuan muslim, namun di negara ini, khususnya di pulau ini, kata-kata itu merujuk pada perempuan yang Insya Allah alim). Kejutan selanjutnya adalah entah kenapa aku dipertemukan juga dengan dua perempuan lain yang serupa dengannya di bawah atap itu. mungkinkah ini jawaban dari doa-doaku? hemm, entahlah.
Awal aku menginjakkan kaki di kota ini, aku masih menjalin hubungan dekat (pacaran) dengan lelaki yang kurasa Insya Allah bisa menjadi imam yang baik untukku kelak. Dia memang bukanlah lelaki yang tergolong cerdas dalam akademik, tapi entah kenapa aku menyukainya, padahal sebelumnya tak pernah sedikitpun aku tertarik dengan lelaki yang dari segi IPKnya dibawah 3,00 ditambah lagi dia berasal dari salah satu universitas swasta di negara ini. Mungkin ini teguran dari-Nya agar aku lebih merunduk, lebih bisa bersyukur atas semua nikmat Yang Maha Kuasa. Lelaki itu pun tak bisa dibilang jago dalam olah raga, bahkan bisa dikatakan ia memiliki kelemahan dalam bidang itu, entahlah apakah itu disebabkan karena dia malas latihan atau karena tubuhnya memang lemah, well lelaki itu memiliki penyakit asma yang diturunkan dari ibunya. Dia juga menyukai lagu-lagu dari negeri ginseng dan negeri matahari, bahkan pernah ikut breakdance. Penampilannya pun bisa kubilang kurang rapi alias cukup berantakan. haduh jauuuuuh sekali dari tipe lelaki yang selama ini kusukai.
Mungkin inilah beberapa alasan aku bisa menyukainya.
1. Dia membuatku merasa bisa menjadi perempuan yang sholehah dimatanya. Dia menyanjungku dengan pujian yang selama ini tak pernah ku dapat dari lelaki yang sebelumnya pernah hadir di kehidupanku. Dan tak terlihat tanda kebohongan saat ia mengucapkannya, sepertinya ia tulus dan benar-benar menganggapku seperti apa yang ia katakan.
2. Dia membuatku merasa dibutuhkan. Dia bermasalah dengan ibunya. Entah kenapa setiap kali aku melihatnya dan mendengarkan keluhannya tentang kehidupannya bersama si ibu, aku merasa seperti berhadapan dengan sisi lain dari seorang lelaki, sisi kerapuhan seorang lelaki. Bersama dia, aku merasa seperti bertemu dengan sosok diriku yang lain. Sosok anak manusia yang mengharapkan memiliki ibu yang sabar, lembut dan penuh kasih. Selama ini aku pun selalu merasa kurang dengan keluargaku, terutama ibu dan bapakku, bahkan sampai saat aku menulis ini pun, aku masih bisa melihat lubang besar didalam keluargaku yang selalu kucoba tutupi dengan selimut senyum dan untaian doa. Aku iri padanya, kata-kata ini yang selalu coba ku tahan keluar dari mulutku, karena dia belum saatnya tahu, karena dia belum menjadi imamku.
3. Dia membuatku selalu ingin menjadi jauh lebih baik dari aku yang sebelumnya. Dia menasehatiku tentang cara berpakaian dan berhias sebagai seorang muslimah. Bersamanya aku merasa menjadi diriku sendiri, diriku yang sebenarnya lebih nyaman jalan mengenakan kaus, flatshoes dan hanya bedak+lipstain yang menempel di wajahku. Tak ada lagi wedges dan make up yang menempel diwajahku, sekalipun make up bernuansa natural.
4. Dia mampu membuka mataku bahwa aku bukanlah satu-satunya perempuan yang terpuruk di dunia ini. Di lingkungannya masih banyak perempuan yang keadaannya jauh lebih terpuruk, bermandikan dosa, bernafaskan nafsu dunia dan pasrah terlena buaian syaitan, Mereka belum mendapat hidayah-Nya untuk kembali pada jalan yang benar. beruntunglah aku segera menemukan jalan untuk kembali pada petunjuk Sang Pemilik Kehidupan.
5. Dia membuatku berani berharap lagi. Entah ini darimana datangnya, tapi setelah beberapa waktu bersamanya, aku menyadari bahwa aku mulai berani lagi menggunakan kata "seandainya".
6. Dan yang terakhir, dia mampu membuatku menyukainya segala kekurangannya dan menerima dia apa adanya. hal inilah yang membuat hatiku terbuka untuk menyayanginya, lebih dari aku menyayangi my first love.
Saat kutulis cerita ini, hubunganku sebagai sepasang kekasih dengan lelaki itu sudah berakhir. Saat ini kami hanya berteman, tidak kurang dan tidak lebih. Ada beberapa hal yang membuatku menempuh jalan ini.
1. Aku tak ingin mendahului takdir Allah SWT. Bila pun kami berjodoh, maka suatu saat nanti Allah SWT akan pertemukan kami dan persatukan kami dengan cara yang jauh lebih terhormat.
2. Dia, kurasa masih terpaku pada masa lalunya bersama first lovenya. Kurasa dia masih ingin mengejar perempuan itu, kurasa dia masih ingin memiliki perempuan itu, entahlah apakah karena masih diburu rasa penasaran atau memang karena cintanya pada wanita itu terlampau besar. Aku tak ingin menjadi penghalang diantara mereka, dan lagi aku sadar bahwa aku bukanlah apa-apa bila dibandingkan dengan perempuan itu. Maka, aku mundur perlahan, agar lebih banyak hati yang tersenyum dibandingkan hati yang terluka.
Kukembalikan semua ini hanya pada-Nya. Kuserahkan takdir hidupku, matiku, jodohku, dan rezekiku hanya pada-Nya, Allah SWT Sang pemilik alam semesta beserta isinya.
Kembali ke cerita awal, aku bertemu dengan teman-teman yang Insya Allah baik agamanya di kota ini. aku masih sulit menerima takdirku untuk menempuh studi disini. tak ada keluarga bahkan teman dekat yang ku punya pun disini tidak ada. Hanya ada mereka bertiga yang menemaniku di kota pahlawan ini. Mungkin Allah punya rencana lain dengan mengirimku kesini. Aku mendapat hikmah yang besar. Aku mulai menyusun kembali kegiatan ibadahku dengan target yang Insya Allah lebih baik dari sebelumnya. Aku mencoba memulai mengistiqomahkan diriku untuk selalu melaksanakan sholat sunnah rawatib di sela-sela sholat fardhu, sholat tahajud, sholat hajat dan membaca Al-qur'an. Alhamdulillah kegiatan-kegiatan inilah yang membuatku mampu bertahan disini dan membuatku merasa dekat dengan Allah SWT.
Mereka bertiga memang tak terlihat sering melaksanakan ibadah seperti yang ku lakukan, mungkin mereka memiliki keyakinan tersendiri terhadap hal itu, entahlah aku tak tahu, toh ini pun sunnah kan? boleh dikerjakan, boleh juga tidak. Yang pasti keberadaan mereka selalu mengingatkan aku bahwa aku harus bisa menjadi perempuan yang sholehah, yang cantik hatinya, yang lembut tutur katanya, yang santun dan baik perangainya serta berbakti pada imamku saat ini dan yang akan datang. keberadaan mereka selalu membuatku terpacu untuk bisa menjadi seperti mereka, bahkan jauh lebih baik lagi. belum perlulah aku tergabung dalam suatu majelis untuk beberapa saat ini, aku masih ingin mempertajam dulu ibadah wajibku dan mengistiqomahkan ibadah sunnahku yang Insya Allah mampu menjadi pelindung hatiku. Bila saatnya aku merasa sudah mampu berdiri sendiri dengan mantap, maka aku akan mencoba berjalan menuju suatu majelis yang Insya Allah membawa manfaat dan ilmu yang jauh lebih banyak dan lebih baik dari yang aku miliki saat ini. Aku hanya ingin memantapkan hati, menegaskan sikap dan meyakinkan diri agar aku tak mudah terpengaruh dan tergoyahkan dengan majelis-majelis di luar sana yang konon kabarnya beberapa majelis ada yang menjerumuskan atau mengandung bid'ah yang tidak sesuai ajaran agama kami. Wallahualam. Semoga Allah SWT selalu melindungi kita dan membimbing kita ke jalan yang benar.
Nah beberapa waktu lalu ada beberapa teman kuliah DIII-ku dan teman SMPku menikah. Subhanallah, sungguh beruntungnya mereka bisa bertemu jodoh mereka dalam waktu yang singkat. Saat menghadiri akad dan resepsi mereka, terlintas dalam benakku, "kapan ya aku bertemu jodohku dan bersanding dengannya di pelaminan?". Pertanyaan itu terus menerus melintas dalam pikiranku, namun apalah dayaku? Aku saat ini hanyalah bidan lulusan kemarin sore yang belum berpengalaman yang hendak melanjutkan studi ke S1 di kota pahlawan dan juga mencoba peruntungan dengan mengikuti tes CPNS di Ibukota negara ini. Bila ada yang bertanya "apakah kamu ingin menikah?" aku pasti menjawab "tentu saja, ingin sekali". Namun bila pertanyaan itu diubah menjadi "Apakah kamu sudah siap menikah?" aku akan bingung menjawabnya. Aku memang ingin sekali menikah, namun aku sadar bahwa aku belum siap.
1. aku memang sudah sanggup memasak beberapa masakan sederhana dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga, tapi aku belum yakin memiliki kesanggupan dalam mengurus suami dan anak-anakku kelak. Belum lagi ditambah mengurus mertua bila nanti kami tinggal di rumah mertua. Intinya belum berani deh.
2. aku masih harus banyak belajar cara-cara menjadi istri sholehah dan memahami kewajiban-kewajibanku sebagai seorang istri dan ibu kelak. Ku harap suamiku nanti adalah orang yang mampu membimbingku dengan sabar dan penuh kelembutan namun tegas. Menggenggam tanganku disaat ku lalai, memelukku disaat ku ragu dan takut, mengusap air mataku disaat hatiku terluka dan ku harap dia tak pernah lupa mengatakan di setiap pagi dan malam bahwa dia mencintaiku dan bersyukur memilihku menjadi pendamping hidupnya selamanya.
Si jodoh, entahlah kamu sekarang berada dimana dan sedang apa. apakah saat ini kamu memikirkanku? apakah kamu ada merindukanku? entahlah, yang pasti mulai saat ini, Insya Allah kuteguhkan hatiku, ku mantapkan langkahku dan kutundukkan pandanganku hanya untuk menantimu dalam kesetiaan, menantimu dalam doa, dan menantimu menjemputku untuk menjadi istrimu, pendamping hidupmu kelak, selamanya. Ku harap kamu pun sama, berusahalah jodohku, berusahalah mencariku, aku disini, menantimu. Hingga Allah SWT mempertemukan kita :)
selamat istiqamah.
BalasHapusenak bacanya. bagus.